Keluarga Sakinah

THALAQ (PERCERAIAN) DALAM ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dalam
mata kuliah Fiqih Keluarga Muslim

 

Disusun oleh :

Lamlam Masropah              1211401053

nh

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan semesta alam Allah SWT , berkat keesaan dan kasih sayangnya lah kami selaku penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Semoga solawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada baginda nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabatnya, tabi’in itba’u tabiatnya, dan kita umatnya.

Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Fiqih Keluarga Muslim, maka dengan kemampuan, pengetahuan, dan wawasan yang sangat terbatas kami berusaha menyusun karya tulis ini dan alhamdulilah selesai pada waktu yang telah di tentukan. Melalui karya tulis ini, di harapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami maksud dari thalaq dan unsur-unsurnya dalam kaca mata Islam.
Penulisan karya tulis ini lebih banyak disadari dan didasari oleh rasa tanggung jawab serta kesadaran penyusun sebagai seorang pelajar yang peduli serta butuh akan pendidikan, karena itu penulis merasa bahwa di dalam karya tulis ini terdapat banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang menghendaki adanya perbaikan dan kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati sangat mengharapkan datangnya kritik dan saran semua pihak demi perbaikan karya tulis ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu. Semoga Allah SWT, meridhoi usaha penulis dan semoga karya tulis ini bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua. Aamiin .

Bandung, November 2012
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. ii
BAB I: PENDAHULUAN …………………………………………………..……… 1
I.I Latar Belakang Masalah ……………………………………………………… 1
I.2 Tujuan Penulisan ………………………………………………………………. 1
I.3 Manfaat Penulisan ……………………………………………..……………… 2
I.4 Perumusan dan Batasan masalah …………………….…………………. 2
I.5 Metodelogi dan Tekhnik Penulisan …………………………………….. 2
BAB II: PEMBAHASAN …………………….…………..……………………….. 3
2.1 Pengertian Thalaq ………………………………… …….…………………… 3
2.2 Rukun Thalaq ……………………………………….………….…..…………. 3
2.3 Syarat Thalaq ………………………………… ………..………….…………. 4
2.4 Hukum Thalaq ………………………………………………………………… 4
2.5 Macam-macam ucapan Thalaq …………………………….………….. 7
2.6 Pembagian Thalaq …………………………………………..………………. 9
2.7 Bilangan Thalaq ………………………………………………………………. 10
2.8 Pendapat tentang Thalaq tiga …………………………..………………. 11
2.9 Macam-macam Thalaq …………………………………..………………… 11
BAB III: PENUTUP ………………………………………………………………… 16
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………..……………… 16
3.2 Saran ……………………………………………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKA ….……………………………………………………………. 17

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
1.2 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan mengangkat judul “Thalaq (perceraian) dalam Islam”, mempunyai beberapa tujuan, antara lain :
• Memberi pemahaman tentang bagaimana sebenarnya konsep thalaq dalam Islam.
• Mendeskripsikan gambaran thalaq dan seluruh perangkatnya.
• Menumbuhkan rasa sadar diri, cinta terhadap keluarga, serta lebih hati-hati dalam mengemban amanah di dalam sebuah keluarga, untuk menghindari adanya perceraian.
1.3 Mamfaat penulisan

• Sebagai bahan masukan untuk mengetahui dan memahami thalaq (perceraian) dalam kaca mata Islam, sehingga pembaca dapat memahami dan meminimalisir kekeliruan dari konsep thalaq tersebut.
• Sebagai bahan masukan untuk para pembaca agar mampu menghindari hal-hal atau problem-problem yang dapat menggiring pada terjadinya ghibah.
1.4 Rumusan dan batasan masalah

• Apa pengertian thalaq (perceraian) ?
• Apa saja syarat dan rukun thalaq ?
• Bagaimana hukum thalaq dalam Islam ?
• Apa saja jenis thalaq yang ada di dalam Islam ?
Oleh karena keterbatasan penulis , baik dalam hal waktu, tenaga, maupun biaya , maka penulis merasa perlu untuk melakukan pembatasan masalah. Berdasarkan hal itulah penulis membuat makalah ini dengan judul “Thalaq (perceraian) dalam Islam”. Dan di dalam penulisan ini, hanya akan dibahas hal-hal yang meliputi dan berkaitan dengan topik tersebut.
1.5 Metodologi dan Teknik Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan. Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini, adalah :
• Studi pustaka, yaitu dengan membaca buku-buku atau mencari sumber lain yang berkaitan dan menunjang dengan isi makalah.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thalaq (perceraian)
Talak ( الطلاق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لإطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)].
Pengertian Menurut Para Imam Madzhab
• Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.
• Menurut mazhab Syafi’i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu.
• Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Perbedaan definisi diatas menyebabkan perbedaan akibat hukum.
2.2 Rukun Thalaq
Rukun thalaq ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalaq, terwujudnya thalaq bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun thalaq ada empat, sebagai berikut :
• Suami. Suami adalah yang memiliki hak thalaq dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena thalaq itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka thalaq tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang syah.
• Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.

2.3 Syarat Thalaq

Untuh syah nya thalaq, suami yang menjatuhkan thalaq disyaratkan :
• Berakal
• Baligh
• Atas kemauan sendiri
Sedangkan istri yang dithalaq, disyaratkan sebagai berikut :
• Istri tersebut masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin masa iddah thalaq raj’I dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah thalaq yang dijatuhkan dan mengurangi hal thalaq yang dimiliki suami.
• Kedudukan istri yang dithalaq itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang syah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan petempuan saudara istrinya, maka thalaq yang demikian tidak dipandang ada.

2.4 Hukum Thalaq

Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu: [Lihat uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]
• Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
• Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
• Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
• Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa’id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
• Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Bila suami menjatuhkan talak Raj’i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama syafi’i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.
2.4.1 Hukum Thalaq Tanpa Sebab

Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: Saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan apa-apa. Datang yang lain melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya. Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis.
Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air dan di atas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya”. (QS. Al-Baqarah: 102)

2.5 Macam-macam Ucapan Thalaq
2.5.1 Talak dilihat dari Segi Lafadz

Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran). Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Sedangkan Thalaq kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya. Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2.5.2 Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz

Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah. Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’. Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak. Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya. Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
2.5.3 Talak Dilihat dari Segi Argumentasi

Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i . Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya. Allah SWT berfirman :
”Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
”Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut : Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab,
”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
2.6 Pembagian Thalaq
2.6.1 Dari segi cara suami menjatuhkan

Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi dua, yaitu:
• Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara’, seperti haidh, dan selainnya.
• Talak Bid’i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar’i.
2.7 Bilangan Thalaq
Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menalak istrinya dari thalaq satu sampai thalaq tiga. Thalaq satu atau dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis iddahnya, dan boleh menikah kembali sesudah iddah. Allah SWT berfirman :

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“ thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makrufatau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S Al-Baqarah :229)
Adapun thalaq tiga boleh rujuk atau kawin kembali, kecuali apabila perempuan telah menikah dengan orang lain atau telah di thalaq pula oleh suaminya yang kedua itu. Allah SWT berfirman :

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
“kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”.(Q.S Al- Baqarah 230).
Memang perempuan itu boleh menikah kembali dengan suaminya yang pertama jika perempuan itu sudah menikah dengan laki-laki lain, serta sudah campur dan sudah pula diceraikan oleh suaminya yang kedua itu, dan sudah habis pula iddahnya dari perceraian yang kedua. Tetapi perlu kita ingat, hendaklah pernikahan yang kedua itu dengan benar-benar menurut kemauan laki-laki yang kedua, dan benar-benar dengan kesukaan perempuan, bukan karena kehendak suami yang pertama. Tegasnya, bukan dengan maksud supaya ia dapat menikah kembali dengan laki-laki yang pertama, memang betul-betul dengan niat akan kekal. Adapun kalau disengaja supaya dia dapat kembali kepada suami yang pertama, perbuatan ini tidak diizinkan oleh agama Islam, bahkan dimurkai.

2.8 Pendapat Tentang Thalaq Tiga

Thalaq tiga meliputi beberapa cara, seperti tersebut di bawah ini :
• Menjatuhkan thalaq tiga kali pada masa yang berlainan. Misalnya seorang suami menalak istrinya talak satu, pada masa iddah ditalak lagi talak satu, pada masa iddah kedua ini ditalak lagi talak satu.
• Seorag suami menalak istrinya dengan thalaq satu, sesudah habis iddahnya dinikahinya lagi, kemudian ditalak lagi; setelah habis iddahnya dinikahi lagi, kemudian ditalak lagi ketiga kalinya.
• Suami menalak istrinya dengan ucapan “saya thalaq engkau dengan thalaq tiga” atau “saya thalaq engkau, saya thalaq engkau, saya thalaq engkau”, diulang-ulangnya kalimat thalaq itu tiga kali berturut-turut.
Dalam cara yang ketiga ini para ulama berbeda pendapatnya, yaitu sebagaimana berikut dibawah ini :
 Pendapat pertama, jatuh thalaq tiga, berlaku segala hukum thalaq tiga.
 Pendapat kedua, tidak jatuh sama sekali.
 Pendapat ketiga, jatuh thalaq satu. Dalam hal ini berlaku hukum thalaq satu.
2.9 Macam-Macam Thalaq
2.9.1 Thalaq Raj’i

Thalaq roj’i adalah talak yang membolehkan suami untuk rujuk ketika masih dalam masa ‘iddah tanpa didahului dengan akad nikah yang baru, walau istri tidak ridho kala itu. Talak roj’i ada ketika talak pertama dan talak kedua. Jika ‘iddah telah selesai pada talak pertama dan kedua, maka jadilah talak ba-in (talak yang tidak bisa kembali rujuk). Jika masih talak pertama dan kedua kala itu suami masih ingin kembali pada istri yang dicerai, maka harus dengan akad nikah baru.
2.9.2 Thalaq Ba’in

Thalaq Ba’in adalah Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba’in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra.
Talak ba’in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar.
oleh karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya. * Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak dua kali dan memungkinkan suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa iddah * Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final. Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi, kecuali sang istri pernah dikawini oleh orang lain lalu diceraikan olehnya.
2.9.3 Khulu’ (thalaq tebus)

Thalaq tebus artinya “thalaq yang diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami”. Perceraian dengan cara ini diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai beberapa hukum perbedaan dengan thalaq biasa.
Thalaq tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya thalaq tebus itu terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukan, bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang. Apalagi biasanya thalaq tersebut tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi.
Perceraian yang dilakukan secara thalaq tebus ini berakibat mantan suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru.
Sebagian ulama memperbolehkan thalaq tebus, baik terjadinya karena keinginan dari pihak istri maupun dari pihak suami. Sebagian lagi ulama berpendapat tidak boleh thalaq tebus kecuali apabila keinginan bercerai itu datang dari pihak istri karena ia benci kepada suaminya, dan bukan disebabkan kesalahan suami; hal itu berarti merupakan paksaan kepada istri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan suami; dan kalau suami yang ingin bercerai atau suami yang benci kepada istrinya, ia dapat bertindak dengan perceraian yang biasa, sebab hak thalaq itu ada didalam kekuasaannya.
2.9.4 Ila’ (sumpah suami)

Ila’ artinya “sumpah si suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya”. Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu sampai empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya sebelum sampai 4 bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat) saja. Tetapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih diantara dua perkara : memebayar kafarat sumpah serta kembali baik kepada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai 4 bulan suami tidak kembali (campur), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh thalaq bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’, sebagaimana tersurat dalam Al-Quran surat al- baqarah ayat 226-227, terdapat tiga pendapat :
• Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa 4 bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh thalaq bain.
• Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan, boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
• Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan ataupun tidak.
Ila’ ini di jaman jahiliyyah berlaku menjadi thalaq, kemudian diharamkan oleh agama Islam.
2.9.5 Zihar

Zihar ialah “”seorang laki-laki menyerupakan istrinya dengan ibunya sehingga istriya itu haram atasnya”, seperti kata suami kepada istrinya “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku”. Apabila seorang laki-laki berkata demikian dan tidak diteruskannya kepada thalaq, maka ia wajib membayar kafarat, dan haram bercampur dengan istrinya sebelum membayar kafarat itu.
Zihar ini pada zaman jahiliyyah dianggap menjadi thalaq, kemudian diharamkan oleh agama Islam serta diwajibkan membayar denda (kafarat). Allah SWT berfirman :

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا
“orang-orang yang men-zihar istri-istrinya diantara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibi-ibi mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta (Q.S al Mujadalah : 2)
Adapun denda atau kifarat dari zihar, diantaranya yaitu : memerdekakan hamba sahaya, kalau tidak mampu, bisa diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak kuat puasa, bisa diganti dengan memeberi makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang ¼ sa’ fitrah (3/4 liter).
2.9.6 Li’an

Li’an ialah perkataan suami sebagai berikut “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia telah berzina”. Kalau ada anak yang diyakininya bukan anaknya, hendaklah diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan tersebut hendaklah diulanginya empat kali, kemudian ditambahnya lagi dengan kalimat, “Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”
Apabila seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada, maka yang menuduh itu harus atau wajib disiksa (didera) 80 kali. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, dia boleh lepas dari siksaan tersebut dengan jalan li’an. Berarti suami yang menuduh istrinya berzina boleh memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali atau ia me-li’an istrinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Annua ayat 6-7.
Akibat dari li’an suami tersebut, timbul beberapa hukum, diantaranya yaitu : dia tidak disiksa (didera), si istri wajib disiksa dengan siksaan zina, suami istri betcerai selama-lamanya, dan hukum yang terakhit adalah kalaupun misalnya ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.
Untuk melepaskan si istri dari siksaan zina, dia boleh me li’’an pula, membalas li’an suaminya it, seperti yang Allah jelaskan dalam Q.S Annur ayat 8-9.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Thalaq dalam Islam tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika hubungan pernikahan antara sumi dan istri tersebut akan membawa kemadharhatan, dan kemadharhatan tersebut hanya akan hilang atau berakhir dengan jalan cerai, maka thalaq tersebut dianjurkan adanya. Islam telah mengatir thalaq, dan segala aspek-aspek nya dengan senagt jelas didalam kitabnya, Al-qur’an.

3.2 Saran

Kepada seluruh kaum muslimin yang sudah menjadi seorang suami dan seorang istri, untuk senantiasa menjaga hubungan di dalam keluarganya supaya tetap harmonis, agar dapat meminimalisir terjadinya perceraian. Dan bagi yang belum membina rumah tangga, agar lebih gencar dalam menyeleksi calon pasangannya, agar nanti setelah berumah tangga tidak terjadi hal-hal diluar jangkauan yang tidak diinginkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari buku :
• Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta : Prenada Media Group
• Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung ; Sinar Baru Algensindo

Sumber dari internet :
http://www.google.com
http://www.wikipedia.com

 

 

Tinggalkan komentar